TRADISI RUWAHAN KELURAHAN TERBAN
Tradisi Ruwahan Kelurahan Terban
Aktivitas budaya atau tradisi yang dilakukan masyarakat di setiap daerah, dalam rangka menyambut bulan puasa sangatlah beragam dan berbeda-beda. Tradisi menyambut puasa di Jawa Tengah dikenal dengan nama tradisi Ruwahan.
Tradisi ini telah dilakukan selama bertahun-tahun yang menggabungkan antara kepercayaan adat dan ajaran agama Islam. Tradisi ini dijaga kelestariannya sampai sekarang dan masih dijalankan terutama di daerah pinggiran atau pedesaan.
Tradisi ini memiliki tata cara yang unik di tiap daerah, namun sebagian besar memiliki konsep yang sama, yakni untuk mendoakan para leluhur mereka dan berbagi sedekah dengan orang-orang sekitar. Dalam budaya Jawa, mendoakan orang tua, kakek, nenek, dan para leluhur merupakan bentuk penghormatan.
Selain itu kegiatan ini juga mengusung harapan agar umat Islam bisa menjalankan puasa tahun ini tanpa adanya halangan apapun.
Namun, di tengah pandemi covid-19 ini, tradisi yang biasanya melibatkan massa dalam jumlah banyak ini digelar dengan cara sederhana dan tetap menerapkan protokol kesehatan secara ketat.
Beberapa waktu lalu Kelurahan Terban juga menggelar tradisi tersebut, tujuan acara tersebut adalah untuk nguri-uri budaya serta sebagai bentuk silaturahmi, saling memaafkan, dan sekaligus bersedekah berbagi rejeki dengan membagikan beberapa makanan seperti ketan, kolak, dan apem.
Makanan tersebut mengandung makna, kolak untuk mengingatkan adanya Sang Khalik atau Sang Maha Pencipta. Nama kolak sendiri dipercayai berasal dari bahasa arab yaitu kata Khalaqa, yang artinya menciptakan, atau juga dari kata Khaliq yang berarti Sang Pencipta. Dengan kata lain, Kolak ini merujuk kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kolak ini sebagai simbol harapan dari pembuatnya, agar selalu ingat kepada Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa.
Kue apem untuk mengingatkan agar kita minta ampun atau bertobat. Apem berasal dari bahasa Arab afuwwun yang mengartikan ampunan. Oleh karenanya kue berbentuk bulat yang dibuat dari bahan dasar tepung beras ini ini mengandung makna memohon ampunan dan membersihkan diri untuk menyambut Ramadhan.
Sementara ketan untuk mengingatkan hati yang bersih dan selalu lekat dengan sesama. ketan sendiri dalam kepercayaan masyarakat Jawa memiliki banyak makna. Ketan bisa diartikan kreketan atau ngraketke ikatan, yang artinya merekatkan ikatan. ketan juga dimaknai sebagai simbol perekat tali persaudaraan antar sesama manusia. Hal ini juga ditandai dengan pembagian sajian kepada tetangga dan saudara untuk mempererat keakraban.
Nama ketan juga dipercaya berasal dari kemutan dalam bahasa Jawa, yang artinya teringat. Hal ini sebagai simbol perenungan dan introspeksi diri atas kesalahan dan dosa yang pernah dilakukan selama ini. Dengan kata lain, sebagai manusia harus selalu ingat atas dosa-dosanya dan merenungkannya.
Ada pula yang mempercayai nama ketan diambil dari bahasa Arab, Khatam yang artinya tamat. Hal ini menyimbolkan umat dari nabi yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw. Ada pula yang mempercayai nama Ketan dari kata Khotam, juga dari bahasa Arab yang berarti kesalahan.
Biasanya warga masyarakat Terban yang merayakan berbagi makanan dengan mengirim makanan yang dilakukan secara bersama-sama dengan berkumpul di suatu tempat. Setelah melakukan sedekah, acara pun dilanjutkan dengan membersihkan makam keluarga.
Acara bersih makam ini adalah merupakan bentuk perhatian, sekaligus bukti bahwa ia tidak akan pernah lupa pada orang tua dan para leluhurnya.
Ruwahan adalah salah satu perbuatan mulia, karena warga masyarakat mendoakan atau mengirim doa kepada Allah untuk orang yang sudah meninggal dan melakukan sedekah dengan memberi makan kepada sesama.
Akhirnya, tradisi ruwahan adalah sebuah kearifan lokal yang bagi warga masyarakat Terban memiliki makna kultural-religius yang penting. Setelah berabad-abad lamanya tradisi ini berlangsung, pola kearifan ini telah menunjukkan substansi ajaran Islam dalam membangun toleransi dan humanisme. Prinsipnya adalah melestarikan tradisi lama yang baik.
Tradisi Ruwahan Kelurahan Terban
Aktivitas budaya atau tradisi yang dilakukan masyarakat di setiap daerah, dalam rangka menyambut bulan puasa sangatlah beragam dan berbeda-beda. Tradisi menyambut puasa di Jawa Tengah dikenal dengan nama tradisi Ruwahan.
Tradisi ini telah dilakukan selama bertahun-tahun yang menggabungkan antara kepercayaan adat dan ajaran agama Islam. Tradisi ini dijaga kelestariannya sampai sekarang dan masih dijalankan terutama di daerah pinggiran atau pedesaan.
Tradisi ini memiliki tata cara yang unik di tiap daerah, namun sebagian besar memiliki konsep yang sama, yakni untuk mendoakan para leluhur mereka dan berbagi sedekah dengan orang-orang sekitar. Dalam budaya Jawa, mendoakan orang tua, kakek, nenek, dan para leluhur merupakan bentuk penghormatan.
Selain itu kegiatan ini juga mengusung harapan agar umat Islam bisa menjalankan puasa tahun ini tanpa adanya halangan apapun.
Namun, di tengah pandemi covid-19 ini, tradisi yang biasanya melibatkan massa dalam jumlah banyak ini digelar dengan cara sederhana dan tetap menerapkan protokol kesehatan secara ketat.
Beberapa waktu lalu Kelurahan Terban juga menggelar tradisi tersebut, tujuan acara tersebut adalah untuk nguri-uri budaya serta sebagai bentuk silaturahmi, saling memaafkan, dan sekaligus bersedekah berbagi rejeki dengan membagikan beberapa makanan seperti ketan, kolak, dan apem.
Makanan tersebut mengandung makna, kolak untuk mengingatkan adanya Sang Khalik atau Sang Maha Pencipta. Nama kolak sendiri dipercayai berasal dari bahasa arab yaitu kata Khalaqa, yang artinya menciptakan, atau juga dari kata Khaliq yang berarti Sang Pencipta. Dengan kata lain, Kolak ini merujuk kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kolak ini sebagai simbol harapan dari pembuatnya, agar selalu ingat kepada Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa.
Kue apem untuk mengingatkan agar kita minta ampun atau bertobat. Apem berasal dari bahasa Arab afuwwun yang mengartikan ampunan. Oleh karenanya kue berbentuk bulat yang dibuat dari bahan dasar tepung beras ini ini mengandung makna memohon ampunan dan membersihkan diri untuk menyambut Ramadhan.
Sementara ketan untuk mengingatkan hati yang bersih dan selalu lekat dengan sesama. ketan sendiri dalam kepercayaan masyarakat Jawa memiliki banyak makna. Ketan bisa diartikan kreketan atau ngraketke ikatan, yang artinya merekatkan ikatan. ketan juga dimaknai sebagai simbol perekat tali persaudaraan antar sesama manusia. Hal ini juga ditandai dengan pembagian sajian kepada tetangga dan saudara untuk mempererat keakraban.
Nama ketan juga dipercaya berasal dari kemutan dalam bahasa Jawa, yang artinya teringat. Hal ini sebagai simbol perenungan dan introspeksi diri atas kesalahan dan dosa yang pernah dilakukan selama ini. Dengan kata lain, sebagai manusia harus selalu ingat atas dosa-dosanya dan merenungkannya.
Ada pula yang mempercayai nama ketan diambil dari bahasa Arab, Khatam yang artinya tamat. Hal ini menyimbolkan umat dari nabi yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw. Ada pula yang mempercayai nama Ketan dari kata Khotam, juga dari bahasa Arab yang berarti kesalahan.
Biasanya warga masyarakat Terban yang merayakan berbagi makanan dengan mengirim makanan yang dilakukan secara bersama-sama dengan berkumpul di suatu tempat. Setelah melakukan sedekah, acara pun dilanjutkan dengan membersihkan makam keluarga.
Acara bersih makam ini adalah merupakan bentuk perhatian, sekaligus bukti bahwa ia tidak akan pernah lupa pada orang tua dan para leluhurnya.
Ruwahan adalah salah satu perbuatan mulia, karena warga masyarakat mendoakan atau mengirim doa kepada Allah untuk orang yang sudah meninggal dan melakukan sedekah dengan memberi makan kepada sesama.
Akhirnya, tradisi ruwahan adalah sebuah kearifan lokal yang bagi warga masyarakat Terban memiliki makna kultural-religius yang penting. Setelah berabad-abad lamanya tradisi ini berlangsung, pola kearifan ini telah menunjukkan substansi ajaran Islam dalam membangun toleransi dan humanisme. Prinsipnya adalah melestarikan tradisi lama yang baik.
Nampak dalam gambar Lurah Terban Bp.Narotama, S.STP, M.Si sedang menerima kue (Apem), Kolak, Ketan yang mempunyai makna dan simbol tradisi jawa kususnya di Yogyakarta, dari Ketua Kampung Terban Bp.Harjono di Balai Kampung Terban RW.1 disaksikan sesepuh dan warga setempat.